Rabu, 09 Mei 2012

INTERFRENSI DAN INTEGRASI (Sosiolinguistik)





BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi merupakan hal yang penting bagi terbentuknya suatu

kelompok masyarakat. Untuk dapat berkomunikasi antar anggota kelompok

masyarakat diperlukan suatu alat yang disebut bahasa. Bahasa merupakan

media komunikasi yang utama dalam suatu kelompok masyarakat, dengan

bahasa seorang dapat mengungkapkan perasaan, pikiran, ide dan kemauannya kepada orang lain.

Masyarakat sebagai salah satu tempat interaksi bahasa berlangsung,

secara sadar atau tidak sadar menggunakan bahasa yang hidup dalam

masyarakat. Bahasa juga dapat mengikat anggota-anggota masyarakat menjadi kuat, bersatu dan maju. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa dan masyarakat merupakan dua hal yang berkaitan, berkaitan dengan pemakaian bahasa oleh anggota masyarakat.

Bahasa dapat dikatakan sebagai fenomena sosial, sekaligus fenomena

alam. Dikatakan sebagai fenomena alam karena bahasa dalam penggunaannya dalam berujar sangat erat hubungannya dengan getaran-getaran udara serta alat ujar manusia. Dengan demikian linguistik dengan upaya linguis diharapkan dapat memberi suatu wawasan tentang bahasa dan kegiatan kebahasaan.

Beberapa ahli bahasa memberikan batasan tentang bahasa, di antara mereka masih terdapat ketidakseragaman pendapat walaupun maksud dan tujuan mereka adalah sama. Bahasa adalah alat yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Sedang yang dimaksud dengan bahasa manusia adalah segala bahasa yang dipakai oleh manusia untuk berkomunikasi dalam kelangsungan hidupnya.

Bahasa itu sebuah sistem, artinya bahasa itu terbentuk oleh sejumlah

komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah

sistem, bahasa selain bersifat sistematis juga bersifat sistemis. Sistematis

maksudnya, bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun

secara acak atau sembarangan. Sedangkan sistemis artinya, sistem bahasa itu

bukan merupakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah

subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem

sintaksis, dan subsistem leksikon. (Chaer dan Agustina, 2004:15).

Bahasa itu sendiri dapat diartikan alat komunikasi antar anggota

masyarakat berupa lambang bunyi suara yang dilakukan oleh alat ucap

manusia (Keraf, 2000:19). Manusia melalui bahasa dapat mengidentifikasi

dirinya dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Sebagai alat komunikasi

bahasa dapat dipergunakan sesuai dengan keperluannya dan dapat

dipergunakan dalam berbagai jenis kegiatan misalnya rapat, khotbah, upacara, pendidikan, dan sebagainya.

Bahasa merupakan gejala sosial, tentu saja faktor- faktor nonlinguistik

atau faktor eksternal bahasa sangat berpengaruh terhadap pemakaian

bahasanya. Faktor- faktor nonlinguistik tersebut misalnya faktor-faktor sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, jenis kelamin, umur, dan sebagainya. Faktor-faktor nonlinguistik yang lain adalah faktor situasional, yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa pembicaraan itu diselenggarakan, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa pembicaraan itu.

Hadirnya alih kode dan campur kode merupakan akibat dari

kemampuan anggota masyarakat berbahasa lebih dari satu. Selain itu bila dua atau lebih bahasa bertemu karena digunakan oleh penutur dari komunitas bahasa yang sama, maka akan terjadi komponen-komponen tertentu dapat tertransfer dari bahasa yang satu, yakni bahasa sumber (source or donor language) ke bahasa lain, yakni bahasa penerima (recipient language). Akibatnya terjadi pungutan bahasa atau “interference”. Proses terjadinya interferensi sejalan dengan proses terjadinya difusi kebudayaan yang kita kenal dalam ilmu sosiologi.

Gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. Pertama,

dimensi tingkah laku berbahasa dari individu di tengah masyarakat. Kedua,

dimensi sistem bahasa dikenal dengan sebutan interferensi sistemik, yaitu

pungutan bahasa. Ketiga, dimensi pembelajaran bahasa dikenal dengan

sebutan interferensi pendidikan (Paul Ohoiwutun, 2002:72-74).

Pada satu sisi interferensi dipandang sebagai “pengacauan” karena

“merusak” sistem suatu bahasa, tetapi pada sisi lain interferensi dipandang

sebagai suatu mekanisme yang paling penting dan dominan untuk

mengembangkan suatu bahasa yang masih perlu pengembangan. Dengan

interferensi, kosa kata bahasa resipien diperkaya oleh kosa kata bahasa donor, yang pada mulanya dianggap sebagai unsur pinjaman tetapi kemudian tidak lagi karena kosa kata itu telah berintegrasi menjadi bagian dari bahasa

resipien. Dalam hal ini integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang

digunakan dala m bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa

tersebut, tidak sebagai unsur pinjaman atau pungutan.

Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu sampai menjadi

berstatus integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada

mulanya seorang penutur suatu bahasa menggunakan unsur bahasa lain itu

dalam tuturannya sebagai unsur pinjaman karena terasa diperlukan, misalnya karena dalam B1-nya unsur tersebut belum ada padanannya. Kalau kemudian unsur asing yang digunakan itu bisa diterima dan digunakan juga oleh orang lain, maka jadilah unsur tersebut berstatus sebagai unsur yang sudah berintegrasi (Chaer dan Agustina, 2004:168-169).

Kajian sosiolinguistik ternyata masih langka. Kenyataannya hingga

sekarang ini belum mendapatkan pemikiran yang serius, baik oleh linguis

Indonesia maupun linguis luar Indonesia. Kelangkaan kajian yang demikian

menuntut siapapun yang tertarik berkecimpung di bidang linguis, khususnya

sosiolinguistik, untuk memberikan tanggapan nyata lewat karya penelitian

ilmiahnya (Kunjana Rahardi, 2001:1).

“Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” merupakan kumpulan kolom

mingguan di tiga tempat sekaligus: tabloid keluarga Cempaka, Suara Merdeka

Cyber News, dan di website “suheng”. Dari kolom, tulisan ini juga tersiar

menjadi aud io lewat jaringan Smart FM yang tersiar di 11 kota di Indonesia

dengan nama Refleksi Prie G S, dimana Prie G S sendiri yang menjadi pengisi

suaranya. Dari radio, refleksi ini sebagian juga pernah dimonologkan di

televisi Indosiar dengan tajuk Belajar dari Kisah. Dari televisi, refleksi ini

pernah menjadi audiobook yang diedarkan secara terbatas oleh Ilik Sas,

seorang anak muda yang gigih, pemilik jaringan rumah usaha dan pendiri

komunitas bisnis senity di Semarang. Kolom ini ternyata juga dirawat dalam

bentuk blog oleh beberapa orang.

Refleksi Prie G S memiliki ketajaman indra dan kehalusan jiwa untuk

menangkap fenomena suatu proses, benda, ataupun manusia dari sudut

pandang yang nyaris sempurna. Dengan gaya bahasa yang lugas dan down to

eart, Prie G S mampu mengingatkan kita pada fenomena yang sering kita

abaikan. Menyampaikan kearifan adihulung serta membawakan renungan

sambil berseloroh, menertawakan diri sendiri sehingga siapapun dapat

menerima dengan lapang. Hal yang harus diwaspadai dari refleksi-refleksi

Prie G S adalah kekuatan sihir memukau yang membuat banyak orang

kecanduan.

Dengan gayanya yang nyentrik, tulisan yang ringan dan menggelitik,

Prie G S mampu memberi komentar yang langsung mengena ke hati dengan

penuh humor. Mengajak kita menyelami makna hidup dari hal-hal sederhana

yang kadang tidak terpikirkan oleh kita, apapun dalam hidup ini bisa member kita pelajaran. Hal inilah yang menjadi alasan peneliti tertarik meneliti: Interferensi dan Integrasi dalam Kolom-Kolom Edan Prie G S “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” Suatu Tinjauan Sosiolinguistik.

B. Pembatasan Masalah

Untuk mencapai suatu hasil penelitian yang mendalam dan tuntas,

maka perlu diadakan pembatasan masalah. Pembatasan masalah juga

diperlukan agar penelitian tidak kabur dan tidak melewati daerah

penelitiannya. Dalam penelitian ini, yang dikaji adalah interferensi dan

integrasi pada penggunaan bahasa Indonesia oleh Prie G S dalam kolom

“Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”, dengan menggunakan tinjauan

sosiolinguistik.











C. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini ada tiga masalah yang perlu dibahas.

1.      Bagaimana perwujudan interferensi dan integrasi yang terdapat dalam kolom-kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” oleh Prie G S?

2.      Faktor dan bahasa apa sajakah yang mempengaruhi munculnya interferensi dan integrasi dalam kolom-kolom “Hidup Bukan Hanya

Urusan Perut” oleh Prie G S?

3.      Bagaimanakah kekhasan pemakaian bahasa yang dimiliki oleh Prie G S

dalam kolom-kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”?

D. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini ada tiga tujuan yang ingin dicapai.

1.      Untuk mengungkapkan perwujudan interferensi dan integrasi yang

terdapat dalam kolom-kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” oleh

Prie G S.

2.      Untuk memaparkan faktor dan bahasa yang mempengaruhi munculnya interferensi dan integrasi dalam kolom-kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” oleh Prie G S.

3.      Untuk menguraikan kekhasan pemakaian bahasa yang dimiliki oleh Prie G S dalam kolom-kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”.

E. Manfaat Penelitian

Ada tiga manfaat dalam penelitian ini.

1.       Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah penelitian terhadap pemakaian bahasa tulis melalui pendekatan sosiolinguistik dan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.

2.       Sebagai pembuka jalan atau sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian yang lebih mendalam mengenai peristiwa kebahasaan, interferensi dan integrasi.

3.       Memberi informasi kepada pembaca tentang seluk beluk bahasa dan

faktor- faktor sosiolingistik yang dipakai penulis kolom.







F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini peneliti susun sebagai berikut. Bab

pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan. Selanjutnya, landasan teori yang berisi

tentang beberapa teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji

akan dijabarkan pada bab dua. Kemudian, pada bab tiga dipaparkan

metodologi penelitian. Bab empat, akan dijabarkan data-data yang telah

terkumpul, dikelompokkan sesuai dengan kepentingannya kemudian dianalisis untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang muncul sebelumnya. Terakhir, bab lima disajikan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.









































BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Gatot Suryanto (2005) dengan judul “Interferensi Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia pada Novel “Odah” Karya Muhammad Diponegoro”. Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi bentuk interferensi bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada Novel “Odah” karya Muhammad Diponegoro, mengetahui penyebab terjadinya interferensi bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada Novel “Odah” karya Muhammad Diponegoro dan mengetahui cara mengatasi interferensi bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada Novel “Odah” karya Muhammad Diponegoro. Kesimpulannya yaitu, bentuk interferensi adalah leksikal, struktur kalimat, penalaran dan sistematika. Penyebab terjadinya interferensi dikarenakan situasi kebahasaan, problem pemakai bahasa Indonesia serta interferensi digunakan untuk berkomunikasi. Cara mengatasi interferensi pada Bahasa Indonesia yaitu, dengan menetapkan bahasa Indonesia baku dan pembinaan sikap bahasa.

Totok Haryanto (2005) dengan judul “Interferensi Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia pada Wacana Resensi di Surat Kabar Suara Merdeka Bulan Juni dan Oktober 2004”. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini meliputi: (a) bagaimana deskripsi wujud kode bahasa dalam interferensi morfologi? dan (b) bagaimana deskripsi wujud kode bahasa dalam interferensi sintaksis?. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan wujud kode bahasa dalam interferensi morfologi dan sintaksis. Hasil analisis data pada penelitian ini bahwa interferensi dalam bidang morfologi berjumlah 86 buah yang terdiri atas 47 KDs, 3 KM, 19 AB Ind., 7 ABAs, dan 10 klitik. Adapun interferensi dalam bidang sintaksis berjumlah 11 buah yang terdiri atas 9 FN, 1 K Adj, dan 1 KG. Dengan kata lain, interferensi secara keseluruhan (morfologis dan sintaksis) berjumlah 97 buah.

Fajri Fauziyah (2005) dengan judul “Interferensi Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia pada Karangan Narasi Siswa Kelas Satu SLTP Negeri 1 Adimulyo Kabupaten Kebumen”. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai jenis-jenis interferensi bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia pada karangan narasi siswa kelas 1 SLTP Negeri 1 Adimulyo, Kabupaten Kebumen. Mendeskripsikan jumlah frekuensi interferensi pada karangan narasi siswa serta mengetahui jenis leksikon atau tingkat tutur yang mengalami interferensi pada karangan narasi. Hasil analisis data pada penelitian ini menunjukkan bahwa (1) interferensi morfologi meliputi: (a) penggunaan unsure pembentuk, untuk membentuk kata kerja aktif transitif dan aktif intransitif, (b) akhiran {-an}, dan simulfiks {ke-an}. (2) interferensi leksikal. (3) interferensi sintaksis meliputi: (a) penggunaan kata pada yang membentuk frase verbal, dan (b) penggunaan akhiran {-nya}. Jumlah frekuensi interferensi sebanyak 26 dan jenis leksikon yang banyak mengalami interferensi pada karangan narasi yaitu leksikon ngoko. Fitri Puji Lestari (2005) dengan judul “Penggunaan Campur Kode dan Alih Kode dalam Bahasa Penyiar RSPD TOP FM Sukoharjo dalam Acara Slow Rock Tinjauan Sosiolinguistik”. Berdasarkan analisis dapat diketahui campur kode yang terjadi berwujud kata, baster, frase, idiom, perulangan kata, dan klausa baik bersifat inner code-mixing maupun outer code- mixing, serta alih kode yang bersifat intern maupun ekstern. Tujuan penyiar beralih kode dan bercampur kode adalah agar acara terkesan lebih hidup, mengajak pendengar untuk berpartisipasi, meningkatkan rasa percaya diri, memilih dan merangkul komunitas Slow Rock. Faktor penyebab penyiar bercampur kode dan beralih kode adalah keluwesan DJ pada saat siar, lebih komunikatif dan tidak monoton: penyesuaian antara DJ dengan pendengar; gaya siar DJ pada saat siaran; memberikan informasi tentang hal-hal yang bersangkutan dengan lagu-lagu Slow Rock; ekspresi DJ pada saat

mendengar lagu-lagu.

Hierki Mahendra (2003) yang berjudul “Ragam Bahasa dalam Rubrik “Ah Tenane” pada Harian Solo Pos: Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik”, dalam

penelitiannya Hierki membahas karakteristik ragam bahasa, campur kode dan alih kode yang ada pada rubrik “Ah Tenane” pada Harian Solo Pos. Kesimpulan dalam penelitiaan ini adalah adanya peristiwa campur kode dan alih kode yang banyak ditandai adanya penyisipan unsur bahasa yang berasal dari bahasa Jawa dan sedikit dialek Jakarta. Adanya campur kode keluar yang ditandai adanya penyisipan unsur bahasa yang berasal dari bahasa Inggris dan bahasa Arab.



B. Landasan Teori

     1.  Sosiolinguistik

           a. Pengertian Sosiolinguistik

Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur: sosio dan linguistik. Kata sosio berasal dari sosial yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat dan aktifis kemasyarakatan. Sedangkanlinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa, khususnya unsurunsur bahasa (fonem, morfem, kata dan kalimat) dan hubungan antar unsur-unsur (struktur) bahasa tersebut.

Menurut J.A Fishman (dalam Chaer dan Agustina 2004:4)

mendefinisikan sosiolinguistik sebagai kajian tentang ciri khas variasi

bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam suatu masyarakat tutur. Obyek dalam kajian sosiolinguistik dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Jadi, sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya.

Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan

sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Dengan demikian bahasa tidak saja dipandang

sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial. Di dalammasyarakat seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang lain, ia merupakan anggota dari kelompok sosialnya. Hal ini menyebabkan bahasa dan pemakaian bahasa tidak diamati secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatannya dalam masyarakat.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sosiolinguistik

merupakan kajian yang bersifat interdisipliner yang mengkaji masalahmasalah kebahasaan dalam hubungannya dengan aspek-aspek sosial, situasional, dan budaya (culture). Oleh sebab itu, apabila seseorang berbicara dengan orang lain di samping masalah kebahasaan itu sendiri, maka harus memperhatikan yang lain juga. Dengan memperhatikan sosiolinguistik, ketidaktepatan pemakaian bahasa dalam konteks sosialnya dapat diminimalkan. Dengan memahami prinsip-prinsip sosiolinguistik setiap penutur akan menyadari betapa pentingnya ketepatan pemilihan variasi bahasa sesuai dengan konteks social.

           b. Penelitian Sosiolinguistik

Bahasa sastra dapat menjadi objek kajian bidang linguistik. Dalam hal ini yang dimaksud bukan membuat suatu kritik sastra, tetapi lebih bersifat mengkaji unsur kebenaran, unsur pemakaian bahasa dalam cipta sastra. Oleh karena itu, bahasa sastra dapat dikaji secara mikrolinguistik dan secara makroliguistik. Dari sisi mikrolinguistik dapat dibuktikan atau dijelaskan bahwa suatu teori linguistik dapat menggunakan data bahasasastra. Dari sisi  makrolinguistik bahasa dapat dikaji secara interdisipliner dan secara terapan. Bersifat interdisipliner berarti kajian bahasa yang memanfaatkan beberapa bidang kajian.

Pada dasarnya sosiolinguistik dan linguistik mempunyai kesamaan metode penelitian, keduanya selalu didasarkan pada hasil yang dikumpulkan secara empiris yang diterapkan pada sebuah data, serta kesimpulan ditarik secara induktif. Selain memiliki persamaan juga memiliki perbedaan yaitu, sosiolinguistik selalu memperhatikan konteks pemakaian bahasa di dalam bentuk arti, perubahan bahasa, maupun pemerolehan bahasa. Sedangkan linguistik dalam analisisnya semata-mata menyoroti dari segi struktur bahasa sebagai kode.

Pada waktu orang akan berbicara, terlebih dahulu terbentuk suatu ide bahkan kesan di dalam kepala orang tersebut. Jika saatnya telah tiba, pesan itu disampaikan dalam bentuk ujaran yang kemudian didengar oleh orang yang diajak berbicara atau orang yang yang kebetulan hadir dalam peristiwa bahasa tersebut. Dalam proses tutur pembicara selalu memperhitungkan faktor sosio-kultural dan sosio-situasional di samping faktor linguistik secara gramatikal.



Ada tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik.

1)     Identitas sosial dari penutur. Dapat diketahui dari pertanyaan apa dan

siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan

tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga dan

dapat mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.

2)     Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi. Maka, identitas pendengar dapat berupa anggota keluarga dan akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.

3)     Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi. Dapat berupa ruang

keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di dalam masjid, di lapangan

sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan.

4)     Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode

dan gaya dalam bertutur. Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial. Berupa deskripsi pola-pola dialek-dialek sosial itu, baik yang berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa yang tidak terbatas.

5)     Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentukbentuk ujaran. Maksudnya, setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Maka, berdasarkan kelas sosialnya itu dia mempunyai penilaian tersendiri terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang berlangsung.

6)     Tingkatan variasi dan ragam linguistik. Maksudnya, bahwa sehubungan dengan heterogen anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi.

7)     Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. Merupakan topik

yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat.

           c. Manfaat Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan studi tentang sifat-sifat bahasa, variasi bahasa, fungsi bahasa, dan pemakaian bahasa dalam jalinan interaksi serta fungsi bahasa dalam masyarakat. Bahasa sastra dapat dimanfaatkan sedemikian rupa, sehingga dalam fungsinya dapat mendukung kemampuan daya cipta sastrawan itu sendiri. Sumbangan yang dapat diberikan sosiolinguistik dalam kajian bahasa adalah.

a)     Sosiolinguistik dapat memberikan gambaran keadaan sosial suatu

masyarakat berkaitan dengan bahasanya.

b)     Sosiolinguistik dapat digunakan untuk mendeskripsikan adanya

variasi- variasi yang ada dalam masyarakat tertentu.

c)      Sosiolinguistik dapat membantu kita untuk menentukan atau memilih

variasi bahasa mana yang akan kita gunakan yang sesuai dengan situasi dan fungsinya.

Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang bertujuan

menemukan prinsip- prinsip yang mendasar beberapa bahasa. Dengan jalan lebih komprehensif dan dengan melibatkan perhitungan pengaruh berbagai konteks sosial. Penelitian dengan pendekatan sosiolinguistik terhadap karya sastra harus dapat menjelaskan adanya beberapa variasi bahasa, variasi tuturan seperti dialek, gaya bahasa, ragam bahasa, dan tingkat tutur.



     2. Kedwibahasaan dan Diglosia

           a. Kontak Bahasa

Bahasa yang bertemu dengan bahasa lain pasti terjadi kontak,

kontak bahasa adalah pengaruh bahasa yang satu dengan bahasa yang lain secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kontak bahasa yang menimbulkan interferensi sering dianggap peristiwa negatif, karena masuknya unsur-unsur bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau sebaliknya menyimpang dari kaidah bahasa masing-masing. Proses terjadinya kontak bahasa dalam suatu interaksi linguistik harus mengetahui hubungan peran yang ada di antara peserta percakapan.

           b. Kedwibahasaan

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa

Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah

sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme yaitu

berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Chaer dan Agustina, 2004:111-112).

Kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa sebagai sistem melainkan sebagai gejala penuturan, bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan, bukan bersifat sosial melainkan individual. Kedwibahasaan juga merupakan karakteristik pemakaian bahasa. Kedwibahasaan dirumuskan sebagai praktik pemakaian dua bahasa yang sama baiknya secara bergantian oleh seorang penutur .Ciri-ciri kedwibahasaan secara garis besarnya sebagai berikut.

a)     Digunakannya dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau kelompok

orang, tetapi kedua bahasa itu tidak mempunyai fungsi atau peranan

sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakai bahasa.

b)     Penggunaan bahasa itu semata-mata karena kebiasaan dan kemampuan saling mengganti di antara pembicara dan lawan bicara.

c)      Digunakannya dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau sekelompok

orang yang menuntut adanya dua bahasa dan pemakaian bahasa baik

secara individu maupun kelompok.

           c. Diglosia

Keadaan dimana dua bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang sama, tetapi masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranannya sendiri-sendiri dalam konteks sosialnya dikenal dengan sebutan “diglosia”. Diglosia adalah suatu situasi bahasa dimana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada dimasyarakat. Maksudnya bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal dan non-formal, contohnya, di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.

     3. Kode

          a. Pengertian Kode

Kode adalah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasipenutur dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada. Sementara Sumarsono dan Pertana (2002:201) mengatakan bahwa kode merupakan bentuk netral yang mengacu pada bahasa, dialek, sosiolek, atau variasi bahasa. Kode mencakup bahasa dan perbedaan intra bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dan variasi bahasa tersebut, termasuk dialek, tingkat tutur, dan ragam.

           b. Perubahan kode

Di dalam masyarakat yang dwibahasawan (menguasai dua bahasa) sering terjadi perubahan-perubahan kode. Contohnya, masyarakat Jawa yang dikatakan dwibahasawan karena masuknya bahasa Indonesia ke dalam inventarisasi kode atau tutur orang Jawa, maka sering timbul beberapa konsep baru, yaitu.

a)     Telah timbul dialek zaman, dialek kaum modern dan kaum konservatif.

b)     Telah timbul tingkat tutur baru, yaitu tingkat tutur bahasa Indonesia.

c)      Telah timbul berbagai register baru, misal register surat kabar.

     4. Campur Kode

           a. Pengertian Campur Kode

Di antara semua penutur yang bilingual atau multilingual, sering dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan. Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam suatu kalimat atau wacana bahasa lain yang disebut dengan campur kode (Code Mixing). Dengan demikian campur kode dapat didefinisikan sebagai “penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas”. Campur kode terjadi jika orang menggunakan sebagian kecil unit (kata atau frase pendek) dari satu bahasa kebahasa lain, seringkali dilakukan tanp a tujuan dan biasanya dalam tingkat kata (Paul Ohoiwutun, 2002:69). Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya alih kode adalah penutur yang belum menguasai bahasa, ragam, dialek ataupun tingkat tutur yang sedang dipergunakan. Sebagai misal, orang ataupun anak yang sedang belajar bahasa Jawa, pada saat belajar krama mungkin ada yang bertutur: Panjenengan empun menehi duwit teng kulo. ‘Kamu sudah memberi uang kepada saya’.; Simbah dereng nonton dolananku. ‘Nenek belum melihat mainan saya’. Begitu juga bagi yang sedang belajar bahasa Indonesia, dimungkinkan bertutur, Kamu sudah maem? ‘Kamu sudah makan?’; Aku wis mau masuk TK kecil. ‘Saya sudah mau masuk TK kecil.’ Dan sebagainya (Abdul Ngalim, 2003:8).

           b. Latar Belakang Terjadinya Campur Kode

Chaer dan Agustina (2004:151) mengatakan bahwa latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan, tetapi kedua tipe tersebut sering bertumpang tindih. Atas dasar latar belakang pada sikap dan latar belakang pada kebahasaan yang saling bertumpang tindih itu dapat didefinisikan menjadi beberapa alasan atau penyebab terjadinya campur kode. Adapun penyebab terjadinya campur kode adalah.

a)     Identifikasi peran. Ukuran identifikasi peran adalah sosial, register dan educational.

b)     Identifikasi ragam. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana

seorang penutur melakukan campur kode, akan menempatkan diri

dalam hirarki sosial.

c)      Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungan dengan orang lain.

           c. Wujud Campur Kode

Campur kode dibedakan menjadi enam macam, yaitu.

1)     Penyimpangan unsur-unsur yang berwujud kata. Kata yang dimaksudkan adalah bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem

tunggal atau gabungan morfem.

2)     Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa. Yang dimaksud dengan frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif, gabungan kata itu dapat rapat dan dapat renggang.

3)     Penyisipan unsur-unsur yang berbentuk baster. Baster adalah hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda yang membentuk satu makna.

4)     Penyisipan unsur-unsur yang berbentuk perulangan kata. Perulangan

kata yang dimaksud adalah kata yang dihasilkan oleh proses reduplikasi.

5)     Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom. Idiom

yang dimaksud adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling

memilih, masing-masing anggota memiliki makna yang ada karena

bersama anggota yang lain.

6)     Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa. Klausa yang dimaksud

adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurangkurangnya terdiri dari subyek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.

     5. Alih Kode

           a. Pengertian Alih Kode

Alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari satu bahasa atau kebahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan dimaksud meliputi faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, laras bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang. Para penutur yang sedang beralih kode berasal dari minimum dua komunitas dari bahasa-bahasa (dialek) yang sedang mereka praktekkan (Paul Ohoiwutun, 2002:71).

Menurut Chaer dan Agustina (2004:141) menyatakan bahwa alih kode adalah peristiwa berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi keragam santai. Jadi dalam alih kode, pemakaian dua bahasa atau lebih ditandai oleh kenyataan bahwa masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya. Fungsi masing-masing bahasa itu disesuaikan dengan relevansi perubahan konteksnya.

           b. Latar Belakang Terjadinya Alih Kode

Adapun penyebab terjadinya campur kode adalah.

a)     Pembicara atau penutur. Melakukan alih kode untuk mendapatkan ‘keuntungan’ atau ‘manfaat’ dari tindakannya itu. Biasanya dilakukan

oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan

lawan tuturnya.

b)     Pendengar atau lawan tutur. Karena penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tutur itu. Biasanya kemampuan berbahasa lawan tutur kurang karena mungkin bukan bahasa pertamanya.

c)      Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga. Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatarbelakang bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur.

d)     Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya. Perubahan situasi berbicara dari ragam bahasa Indonesia santai ke ragam bahasa Indonesia ragam formal.

e)     Perubahan topik pembicaraan. Perpindahan topik yang menyebabkan

terjadinya perubahan situasi dari situasi formal menjadi situasi tidak formal. Chaer dan Agustina (2004:143-147).

           c. Wujud Alih Kode

Alih kode dibedakan menjadi dua macam, yaitu.

1) Alih kode ekstern

Alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi ketika penutur beralih dari bahasa asalnya ke bahasa asing, misalnya dari bahasa Indonesia kebahasa Inggris atau sebaliknya.

2) Alih kode intern

Alih kode intern adalah alih kode yang terjadi antar bahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antar dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek.

      6. Ragam Bahasa

Pada dasarnya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian, yaitu varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa dan varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek. Setiap bahasa mempunyai banyak ragam yang dipakai dalam keadaan dan keperluan atau tujuan yang berbeda. Harefa (2003:56) menjelaskan bahwa ragam bahasa adalah istilah untuk menunjuk suatu bentuk keaneragaman bahasa sesuai dengan pembedaan pemakaian sehingga akan timbul pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi dan situasinya.

Ada dua pandangan mengenai variasi atau ragam bahasa.

1)     Variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu.

2)     Variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya

sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.

Dialek yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata. Karena ragam bahasa Indonesia sangat banyak, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antar pembicara.

Dilihat dari segi sarana pemakaiannya ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis. Ragam bahasa secara lisan sebagai pertukaran informasi melalui penggunaan lambang-lambang verbal dan nonverbal, mode-mode, serta proses-proses produksi dalam berbahasa. Adapun ragam bahasa tulis adalah melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipakai oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut.

     7. Interferensi

           a. Pengertian Interferensi

Interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, interferensi diharapkan semakin berkurang atau sampai batas yang paling minim. (Kridalaksana, 2001:60) dalam Kamus Linguistik memberikan pengertian sebagai berikut.

a)     Bilingualisme

Bilingualisme adalah pengunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa, ciriciri bahasa lain masih kentara (berlainan dengan integrasi). Interferensi berbeda-beda sesuai dengan medium, gaya, ragam, dan konteks yang digunakan oleh orang yang bilingual tersebut.

b)     Pengajaran bahasa.

Pengajaran bahasa adalah kesalahan bahasa yang berupa unsur

bahasa tersendiri yang dibawa ke dalam bahasa atau dialek lain yang

dipelajari.

Menurut Chaer dan Agustina (2004:160-161) menyatakan bahwa interferensi yang terjadi dalam proses interpretasi disebut interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi bahasa A. Sedangkan interferensi yang terjadi pada proses representasi disebut interferensi produktif. Interferensi reseptif dan interferensi produktif yang terdapat dalam tindak laku bahasa penutur bilingual disebut interferensi perlakuan. Interferensi perlakuan biasa terjadi pada mereka yang sedang belajar bahasa kedua, karena itu interferensi ini juga disebut interferensi belajar atau interferensi perkembangan.

Istilah interferensi pertama kali digunakan untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi sebagai bentuk pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa.

Interferensi yaitu penyimpangan dari norma-norma bahasa dalam bahasa yang digunakan sebagai akibat pengenalan terhadap bahasa lain. Transfer dalam kontak bahasa dapat terjadi dalam semua tataran linguistik, baik fonologis, morfologis, sintaksis, semantis, maupun leksikon.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa interferensi adalah.

a)     Merupakan suatu penggunaan unsur-unsur dari bahasa ke bahasa yang lain sewaktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain.

b)     Merupakan penerapan dua sistem secara serempak pada suatu unsur

bahasa.

c)      Terdapatnya suatu penyimpangan dari norma-norma bahasa masingmasing yang terdapat dalam tuturan dwibahasawan.

           b. Gejala Interferensi

Gejala interferensi dapat dilihat dalam 3 dimensi kejadian. Pertama, dimensi tingkah laku berbahasa dari individu- individu di tengah masyarakat. Kedua, dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur. Ketiga, dimensi pembelajaran bahasa.

Dari dimensi tingkah laku berbahasa, penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni merupakan rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Dari dimensi sistem bahasa, dikenal dengan sebutan interferensi sistemik yaitu pungutan bahasa. Sedangkan dari dimensi pembelajaran bahasa, dikenal dengan sebutan interferensi pendidikan. Dalam proses pembelajaran bahasa kedua atau asing, pembelajaran tentu menjumpai unsur-unsur yang mirip, atau bahkan mungkin sama dengan bahasa pertamanya (Paul Ohoiwutun, 2002:72-74).

           c. Macam-macam Interferensi

Chaer dan Agustina (2004:162-165) mengidentifikasi interferensi bahasa menjadi empat macam.

1) Interferensi Fonologis

Interferensi fonologis terjadi apabila penutur mengungkapkan

kata-kata dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa

dari bahasa lain. Interferensi fonologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi fonologis pengurangan huruf dan interferensi fonologis pergantian huruf.

Contoh:           slalu ? selalu                         adek ? adik

ama ? sama                rame ? ramai

smua ? semua            cayang ? sayang

2) Interferensi Morfologis

Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan

katanya suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Penyimpangan struktur itu terjadi kontak bahasa antara bahasa yang sedang diucapkan (bahasa Indonesia) dengan bahasa lain yang juga dikuasainya (bahasa daerah atau bahasa asing).

Contoh:           kepukul ?                    terpukul

            dipindah ?                  dipindahkan

            neonisasi ?                 peneonan

            menanyai ?                 bertanya

3) Interferensi Sintaksis

Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa gaul) digunakan dalam pembentukan kalimat bahasa yang digunakan. Penyerapan unsure kalimatnya dapat berupa kata, frase, dan klausa. Interferensi sintaksis seperti ini tampak jelas pada peristiwa campur kode.

Contoh:           mereka akan married bulan depan.

            karena saya sudah kadhung apik sama dia, ya saya tanda

tangan saja.

4) Interferensi Semantis

Interferensi yang terjadi dalam bidang tata makna. Menurut bahasa resipiennya, interferensi semantik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu interferensi ekspansif dan interferensi aditif.

1)     Interferensi ekspansif, yaitu interferensi yang terjadi jika bahasa yang tersisipi menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain.

Contoh: teman-temanku tambah gokil saja.

2)     Interferensi aditif, yaitu interferensi yang muncul dengan penyesuaian dan interferensi yang muncul berdampingan dengan bentuk lama dengan makna yang agak khusus.

Contoh: mbak Ari cantik sekali.

     8. Integrasi

           a. Pengertian Integrasi

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual (dwibahasa), dengan demikian terjadilah masyarakat bahasa yang dwibahasawan atau bahkan multibahasawan. Penguasaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur bahasa ternyata membawa dampak, yaitu terjadinya transfer unsur-unsur bahasa, baik transfer negatif maupun transfer positif. Transfer negatif akan melahirkan interferensi, sedangkan transfer positif menyebabkan terjadinya integrasi yang sifatnya menguntungkan kedua bahasa karena penyerapan unsur dari suatu bahasa yang dapat berintegrasi dengan sistem bahasa penyerap.

Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman, dipakai, dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Penerimaan unsure bahasa lain dalam bahasa tertentu sampai menjadi berstatus integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada mulanya seorang penutur menggunakan unsur bahasa lain itu dalam tuturannya sebagai unsur pinjaman karena terasa diperlukan, misalnya dalam B-1nya unsure tersebut belum ada padanannya (bisa juga telah ada tetapi dia tidak mengetahuinya). Kalau kemudian unsur asing yang digunakan itu bias diterima dan digunakan juga oleh orang lain, maka jadilah unsur tersebut berstatus sebagai unsur yang sudah berintegrasi.

b. Proses Integrasi

Proses integrasi dibedakan menjadi empat macam, yaitu.

 1) Integrasi Audial

Integrasi secara audial mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang terdengar oleh telinga itulah yang diujarkan lalu dituliskan. Oleh karena itu, kosa kata yang diterima oleh audial sering kali menampakkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosakata aslinya.

Contoh :          dongkrak ?                 domekracht

             pelopor ?                   voorloper

 sakelar ?                     schakelaar

2) Integrasi Visual

Integrasi visual adalah integrasi yang penyerapannya dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa aslinya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang terdapat dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.

Contoh : system ?                  sistem (bukan sistim)

     hierarchy ?            hierarki (bukan hirarki)

     repertoire ?          repertoir (bukan repertoar)

3) Integrasi Penerjemahan Langsung

Integrasi penerjemahan langsung adalah integrasi dengan mencarikan padanan kosa kata asing ke dalam bahasa Indonesia.

Contoh:           joint venture ?           usaha patungan

            balance budget ?       anggaran berimbang

             samen werking ?      kerja sama

4) Integrasi Penerjemahan Konsep

Integrasi penerjemahan konsep adalah integrasi dengan cara

meneliti konsep kosa kata asing itu, lalu dicarikan konsepnya ke dalam bahasa Indonesia.

Contoh:           medication ?              pangobatan

brother in law ?         ipar laki- laki

job description ?       ketentuan kerja

Penyerapan dari bahasa-bahasa nusantara atau bahasa daerah

oleh bahasa Indonesia tampaknya tidak begitu menimbulkan persoalan, sebab secara linguistik bahasa-bahasa nusantara itu masih serumpun dengan bahasa Indonesia, apalagi penyerapan itu terjadi dalam bidang kosakata. Kalau sebuah kata serapan sudah ada pada tingkat integrasi, maka kata serapan itu sudah disetujui dan converged into the new law. Karena itu, proses yang terjadi dalam integrasi ini biasa disebut konvergensi (Chaer dan Agustina, 2004:169-171).

Unsur pinjaman yang terserap sebagai hasil proses interferensi akan sampai pada taraf integrasi, baik dalam waktu yang relatif singkat maupun dalam waktu yang relatif lama. Karena hingga saat ini sudah banyak bukti dalam bahasa apapun yang mempunyai kontak dengan bahasa lain, bahwa setiap bahasa akan mengalami interferensi, yang kemudian disusul dengan peristiwa integrasi.

Peristiwa interferensi dan integrasi pada bahasa resipien membawa beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada bahasa resipien akibat terjadinya peristiwa interferensi dan integrasi itu. Kemungkinan pertama, bahasa resipien tidak mengalami pengaruh apa-apa yang sifatnya mengubah

sistem apabila tidak ada kemungkinan untuk mengadakan pembaharuan atau pengembangan di dalam bahasa resipien itu. Kemungkinan kedua, bahasa resipien mengalami perubahan sistem, baik pada subsistem fonologis,

subsistem morfologis, subsistem sintaksis, dan subsistem semantis.

























































BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dari epistemologi kearah pelaksanaan penelitian. Epistemologi memberi pemahaman tentang cara/teori menemukan atau menyusun pengetahuan dari idea, materi atau dari kedua-duanya serta merujuk pada penggunaan rasio, intuisi, fenomena atau dengan metode ilmiah. Sehingga bagaimana menemukan atau menyusun pengetahuan memerlukan kajian atau pemahaman tentang metode-metode. Dalam pengertian ini perlu dibedakan antara metode dan teknik. Secara keilmuan, metode dapat diartikan sebagai cara berpikir, sedangkan teknik diartikan sebagai cara melaksanakan hasil berpikir.

Makna penelitian secara sederhana ialah bagaimanakah mengetahui

sesuatu yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur yang sistematis. Proses sistematis ini tidak lain adalah langkah-langkah metode ilmiah. Jadi, pengertian dari metodologi penelitian itu dapat diartikan sebagai pengkajian atau pemahaman tentang cara berpikir dan cara melaksanakan hasil berpikir menurut langkah-langkah ilmiah. Apabila dilihat dari tujuannya, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pada pendekatan kualitatif data bersifat deskriptif maksudnya adalah data dapat berupa gejala- gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada saat penelitian dilakukan.

Menurut Moleong (2007:280) berpendapat bahwa penelitian kualitatif prosedur penelitian yang menganalisis data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Azwar (2001:5) berpendapat bahwa metode kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika logika ilmiah. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara sosiolinguistik yang mencoba menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan masalah- masalah sosial.

2. Sumber Data

Mengingat pentingnya data dalam suatu proses penelitian, maka penting pula untuk menentukan sumber data yang jelas dan pasti. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data adalah kumpulan kolom-kolom edan Prie G S yang telah terkumpul dalam buku yang berjudul “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” yang diterbitkan oleh Trans Media Pustaka 2007.

3. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah kalimat-kalimat yang mengandung

unsur interferensi dan integrasi dari data yang terpilih yang terdapat dalam kolomkolom edan Prie G S yang terbit tahun 2007 oleh Trans Media Pustaka. Banyak pertimbangan terhadap populasi tersebut, karena “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” karya Prie G S mendapat banyak perhatian dari masyarakat luas. Ini terbukti dengan dibukukannya kolom-kolom tersebut oleh Trans Media Pustaka. Selain itu, pertimbangan yang lain adalah relevansi aktualitas, artinya kolomkolom tersebut mempunyai hubungan dengan waktu sekarang.

4. Sampel

Karena penelitian ini tidak mungkin menjangkau keseluruhan populasi, maka sampel yang dipilih adalah yang dianggap mewakili keseluruhan populasi yang ada. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipandang mempunyai sangkut paut dengan populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sampel dalam penelitian ini adalah kalimat-kalimat yang mengandung unsure interferensi dan integrasi dari data yang terpilih untuk dianalisis.

5. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan sesuai dengan rancangan penelitian yang telah ditentukan. Data tersebut diperoleh dengan jalan pengamatan, percobaan atau pengukuran gejala yang diteliti. Data yang dikumpulkan merupakan pernyataan fakta mengenai obyek yang diteliti.

 Peneliti memperoleh data dari sumber tertulis yang disebut teknik pustaka. Menurut Lukman (2004:15) berpendapat bahwa teknik pustaka adalah teknik pemerolehan data yang menggunakan sumber tertulis. Sumber-sumber tertulis itu dapat berwujud majalah, surat kabar, karya sastra, buku bacaan umum, karya ilmiah, atau buku perundang-undangan.

Teknik pustaka ini penulis lakukan dengan cara membaca atau mengidentifikasi kolom-kolom yang terdapat dalam sumber data, kemudian

memilih data dan memilah-milah data tersebut sesuai dengan jenis penelitian dan tujuan penelitian. Karena penelitian ini termasuk dalam bidang sosiolinguistik, maka data yang diambil adalah data yang relevan dengan bidang tersebut. Data yang relevan tersebut dicatat pada kartu data disertai penomeran kode dari sumber data yang diambil (Sumarmi, 2003:58).

6. Teknik Klasifikasi Data

Sebelum menganalisa data, data diklasifikasikan berdasarkan ciri luar kalimat tersebut, apakah di dalamnya terdapat interferensi dan integrasi.

Kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dengan jalan mencari bentuk interferensi dan integrasi yang ada didalamnya. Setelah terkumpul, selanjutnya dilakukan klasifikasi data.

Klasifikasi data memberi arah serta gambaran mengenai langkah apa yang selanjutnya dilakukan dan dikerjakan penulis untuk mempermudah dalam menganalisis suatu permasalahan. Klasifikasi data yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah mengelompokkan data berdasarkan bentuk-bentuk variasi bahasa. Setelah terbagi setiap bentuk dibagi lagi atas wujud dan sifatnya.

7. Teknik Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan, yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar foto, dan sebagainya. Metode analisis data interferensi dan integrasi menggunakan metode padan, yaitu dengan pilah unsur penentu sebagai pembanding yang meliputi satuan lingual yang dapat dibedakan dari interferensi fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis.

8. Teknik Penarikan Kesimpulan

Setiap kesimpulan yang dibuat oleh peneliti semata-mata didasarkan pada data yang dikumpulkan dan diolah. Hasil penelitian tergantung pada kemampuan peneliti untuk menafsirkan secara logis data yang telah disusun secara sistematis menjadi ikatan pengertian sebab-akibat obyek penelitian.























































BAB IV

PEMBAHASAN

A. Wujud Interferensi dan Integrasi yang Terdapat Dalam Kolom-Kolom

“Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” Oleh Prie G S.

1.      Wujud Interferensi yang Terdapat Dalam Kolom “Hidup Bukan Hanya

Urusan Perut” Oleh Prie G S.

Interferensi adalah kekeliruan yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Interferensi dapat terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata, dan makna.

Data interferensi yang diperoleh dari subyek penelitian disajikan pada tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1

Data Interferensi



No.
  

Jenis Interferensi
  

Pernyataan


  

Kode

1.
  

Fonologis
  

Waah…saya tau mutu coklat itu, karna

selain anak-anak saya sendiri juga menaruh hormat pada rasanya.



Saya melihat dosen-dosen bersepeda motor tua, jika ada yang baru pun pasti hasil kriditan.



Bukan cuma harus terlambat ngantor, tetapi anak-anak juga kena imbas telat ke sekolah.



Lumayan jika tugasnya adalah menggantikan praktik jika senior

berhalangan.



Dan, mental kompromi itu takkan pernah tumbuh, jika anakku maupun anakmu tak mengenal kesabaran.



Ternyata ketika utang itu benar-benar tak terbayar, aku merasa tak cuma kehilangan uang tapi juga kehilangan kebaikan.



Sudah ada perbaikan yang membuat kami harus antri, ada tabrakan lagi. Macet total!.



Untuk adeknya ia membawa gantungan

kunci bergambar bintang cancer yang

memang menjadi bintang adeknya.


  

K20-H12









K51-H34







K60-H39









K75-H55







K77-H57









K106-H83









K116-H94









K147-H132



2.
  

Morfologi
  

Itulah kenapa ada oknum pegawai negeri dimutasi gara-gara kena gerebek akibat selingkuh dengan rekan kerja, pada jam kerja pula.



Bersama ini, saya dan keluarga ucapkan rasa terima kasih atas kiriman berbagai parsel lebaran yang datang ke rumah.
  

K7-H2







K15-H10

3.
  

Sintaksis
  

Kami putuskan untuk bercerai secara

pergaulan darinya ketimbang kami tersiksa oleh kenakalannya.



Hahaha…, ini absurd! Mereka telah lama belajar membuat film, tetapi soal penawaran adegan saja masih begitu buruknya.



Dan, tanpa harus kujelaskan, engkau pasti mafhum, siapa yang digambarkan sebagai kafilah dan siapa pula, maaf…anjingnya.



Doa rutin yang selalu ia panjatkan sehabis rampung sembahyang.



Sangat kenyang karena bahan rezeki orang lain pun kita embat juga.



Begitu terbiasanya sehingga kita lupa bahwa deru gas kendaraan kita telah memperkeruh kuping tetangga tanpa terasa.



Jika malam menjelang dan kerumunan

bapak-bapak yang ngobrol itu menghadangku, aku buru-buru matikan

lampu.



Ia sedang trance! Dan, kemabukan seperti ini tidak cuma dialami orang gila seperti dia tapi juga orang-orang waras yang akrab dengan dunia panggung dan pertunjukan
  

K14-H8







K41-H26











K43-H27









K62-H45





K87-H66







K91-H71











K129-H103









K137-H113



4.
  

Semantic
  

Bedanya saya menyembunyikan keinginan ini dibalik sikap jaim dan sok tidak perlu, sementara anak-anak jauh lebih jujur dalam mengungkapkan kata hatinya.



Kalau kemudian ia pulang dari mencoblos dengan senyum riang bukan karena ia merasa telah berbuat kebajikan bagi proses demokrasi, tetapi lebih karena begitu rampung ia memasukkan kertas suara.



Bukan karena alasan ideology atau alasan politik melainkan sekadar solidaritas korp.



Adik si sulung itu, begitu melihat mbakyunya berputar-putar dan menjadi pusat kekaguman.
  

K21-H12











K142-H122















K144-H123







K156-H155



Sebagian Sumber Data Primer yang Sudah Diolah.

Ket: K = Urutan kalimat dalam kolom.

H = Halaman pada kolom.

Berdasarkan pendapat Chaer dan Agustina (2004: 162-165) mengidentifikasi interferensi bahasa menjadi empat macam, meliputi interferensi fonologis, interferensi morfologis, interferensi sintaksis, dan interferensi semantik, dengan penjelasan sebagai berikut.

1) Interferensi Fonologis

Interferensi fonologis terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain. Interferensi fonologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi fonologis pengurangan huruf dan interferensi fonologis pergantian huruf.

2) Interferensi Morfologis

Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Penyimpangan struktur itu terjadi kontak bahasa antara bahasa yang sedang diucapkan (bahasa Indonesia) denga n bahasa lain yang juga dikuasainya (bahasa daerah atau bahasa asing). Interferensi morfologis meliputi kekeliruan dalam memberikan akhiran dan awalan.

Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Gaul) digunakan dalam pembentukan kalimat bahasa yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frasa, dan klausa. Interferensi sintaksis seperti ini tampak jelas pada peristiwa campur kode.

4) Interferensi Semantis

Interferensi semantis terjadi dalam bidang tata makna. Menurut bahasa resipiennya, interferensi semantis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi ekspansif dan interferensi aditif.

1)     Interferensi ekspansif, yaitu interferensi yang terjadi jika bahasa yang tersisipi menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain.

Analisis

2)     Interferensi aditif, yaitu interferensi yang muncul dengan penyesuaian atau berdampingan dengan bentuk lama dengan makna yang agak khusus.

2. Wujud Integrasi yang Terdapat Dalam Kolom “Hidup Bukan Hanya

Urusan Perut” Oleh Prie G S.

Integrasi adalah penyerapan unsur dari suatu bahasa yang satu ke bahasa yang lain yang sifatnya menguntungkan kedua bahasa. Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman, dipakai, dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Integrasi dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu integrasi audial, integrasi visual, integrasi penerjemahan langsung, dan integrasi penerjemahan konsep.

Data integrasi yang diperoleh dari subyek penelitian disajikan pada

tabel 1.2 berikut.



No.
  

Jenis Intergrasi
  

Pernyataan
  

Kode

1.
  

Audial
  

Tapi, watak sopir bus ini pasti juga tidak sendiri.



Tapi, yang tak pernah ia duga ialah,

bahwa si mobil ini jauh lebih banyak berada di bengkel daripada di garasi karena umurnya
  

K73-H53





K96-H74

2.
  

Visual
  

Penyakit khas tropis yang hampir

membekukan darah saya.

Ketika barang itu benar-benar berada di tangan kami, kami sekeluarga tegang di depan televise.



Harus mewartakan setidaknya satu dari sembilan elemen jurnalisme.



Mengingat dokter ini adalah dokter

terbaik maka ia merasa tidak perlu menyentuh hasil lab yang dibawa pasien.



Ia menggambarkan kampus sebagai buku, pesta, dan cinta.



Ia akan mencari jalan bagi dirinya

sendiri lewat cara yang tak pernah kita sangka-sangka termasuk dari mobil ambulans dengan orang sakit di dalamnya.



Jadi, faktor pembeda manusia itu

ternyata bukan kekayaan dan

kemiskinan, melainkan kelakuan.



Dan, anda tahu hukum seorang yang pura-pura. Ikhlas di luar tapi marah di dalam.



Saya menjadi kartunis, cuma bermodal seperempat bakat.



Begitu efektif SMS ini sebagai ganti

silaturahmi.



Sistem networking got kita yang

buruk inilah awal kebangkitan penghuninya
  

K6-H2

K26-H15











K44-H27





K46-H30









K50-H34





K56-H37













K98-H76







K110-H91







K148-H134





K152-H149





K166-H161



3.
  

Penerjemahan Langsung
  

Karena begitu tiba di bandara, ia telah lupa segalanya.
  

K146-H131



4.
  

Penerjemahan Konsep
  

Itulah kenapa pemakaian jaringan

telepon selular yang makin kaya itu, juga berwatak ganda.
  

K165-H161

Sebagian Sumber Data Primer yang Sudah Diolah.

Ket: K = Urutan kalimat dalam kolom.

         H = Halaman pada kolom.

Berdasarkan pendapat Chaer dan Agustina (2004: 162-165) mengidentifikasi integrasi bahasa menjadi empat macam, meliputi integrasi audial, integrasi visual, integrasi penerjemahan langsung, dan integrasi penerjemahan konsep, dengan penjelasan sebagai berikut.

1) Integrasi Audial

Integrasi audial mula-mula penutur Indonesia mendengar butirbutir

leksikal yang dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang terdengar oleh telinga itulah yang diujarkan lalu dituliskan. Oleh karena itu, kosakata yang diterima oleh audial sering kali menampakkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosakata aslinya.

2) Integrasi Visual

Integrasi visual adalah integrasi yang penyerapannya dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa aslinya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang terdapat dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.

3) Integrasi Penerjemahan Langsung

Integrasi penerjemahan langsung adalah integrasi dengan cara mencarikan padanan kosa kata asing itu ke dalam bahasa Indonesia.

4) Integrasi Penerjemahan Konsep

Integrasi penerjemahan konsep adalah integrasi dengan cara meneliti konsep kosa kata asing itu, lalu dicarikan konsepnya ke dalam bahasa Indonesia.

B. Faktor dan Bahasa yang Mempengaruhi Munculnya Interferensi dan

Integrasi Dalam Kolom-Kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”

Oleh Prie G S.

1. Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Interferensi dan Integrasi Dalam

Kolom-Kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” Oleh Prie G S.

Adanya unsur bahasa Inggris menunjukkan bahwa penutur adalah tokoh yang berpendidikan tinggi dan sudah terbiasa dengan pemakaian bahasa Inggris. Unsur bahasa Gaul menunjukkan bahwa penutur mampu mengikuti perkembangan bahasa Gaul yang biasa digunakan oleh remaja. Unsur bahasa Arab menunjukkan bahwa Prie seorang muslim yang terpelajar. Adanya unsur bahasa Jawa menunjukkan bahwa penutur cukup

kuat perasaan kedaerahannya. Uraian tersebut melatarbelakangi pemakaian

bahasa dalam kolom Prie sehingga terjadi interferensi dan integrasi. Ada dua faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa dengan memperhatikan

konteks sosial pemakainya.

1) Faktor sosial

Pada penelitian ini yang digunakan sebagai objek penelitian adalah pemakaian bahasa pada kolom-kolom yang ditulis Prie. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian sosiolinguistik, maka selalu memperhatikan konteks sosial pemakainya. Prie dikenal masyarakat selain sebagai seorang penulis, juga sebagai wartawan, kartunis, penyiar dan pembaca publik, tidak heran jika sebutan budayawan sering disematkan kepadanya.

Prie banyak diundang berceramah untuk berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, pengusaha, pegawai negeri, komunitas agama, hingga ke Mabes Angkatan Laut soal ‘pencerahan’ sosial dan kebudayaan. Sebagai budayawan yang banyak mendapat pendidikan formal, ternyata masih memegang prinsip sebagai orang Jawa. Hal ini terbukti dengan munculnya kata, frasa, bahkan ungkapan dari bahasa Jawa yang sering muncul dalam tulisannya “ Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”.

2) Faktor situasional

Pada dasarnya faktor situasional juga berhubungan dengan faktor sosial. Faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, dan mengenai masalah apa. Seorang yang pantas untuk disebut kolumnis apabila ia secara tetap menyumbangkan artikelnya pada suatu surat kabar, majalah atau tabloid. Prie telah menyumbangkan tulisannya secara tetap di tabloid keluarga Cempaka, Suara Merdeka Cyber News, Website ‘Suheng’, tersiar di Radio Smart FM dan pernah dimonologkan di Indosiar dengan tajuk Belajar dari Kisah.

Dengan demikian bahasa Indonesia yang merupakan media utama tulisan Prie mengalami perkembangan, baik positif maupun sebaliknya. Munculnya peristiwa interferensi dan integrasi dalam kolom-kolom itu juga dipengaruhi oleh maksud-maksud tertentu.

Maksud dimunculkannya interferensi dan integrasi dalam pemakaianbahasa Indonesia pada kolom Prie antara lain sebagai berikut.

- Untuk menimbulkan kesan kedaerahan.

- Untuk menimbulkan kesan mengejek atau sindiran.

- Untuk menimbulkan kesan kelucuan atau humor.

- Untuk menunjukkan kesamaan arti dan kejelasan arti yang

dimaksud.

- Untuk sekedar gengsi.

Dari maksud-maksud tersebut terdapat unsur untuk menimbulkan kesan kedaerahan, mengejek, humor, santai, bercanda, dan lainnya. Hal itu dimanfaatkan untuk memberi suasana menyenangkan untuk dibaca, karena masalah yang ditulis disajikan dengan ringan dan tidak dengan cara yang pahit, menyedihkan atau terkesan ngotot. Kolom prie ini menggunakan bahasa tulis, maka bahasa yang dipakainya sederhana, jelas, singkat, dan padat.

2. Bahasa yang Mempengaruhi Munculnya Interferensi dan Integrasi Dalam

Kolom-Kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” Oleh Prie G S.

Wujud interferensi dan integrasi dalam pemakaian bahasa

Indonesia ternyata dipengaruhi oleh beberapa bahasa daerah dan bahasa asing. Hal ini disebabkan faktor sosiolinguistik yang berperan sekali dalam peristiwa kebahasaannya. Data perbandingan interferensi dan integrasi pengaruh bahasa asing, bahasa daerah dan bahasa gaul yang diperoleh dari subyek penelitian disajikan pada tabel 1.3 berikut.

Tabel 1.3

Jumlah data Interferensi dan Integrasi

Peristiwa Bahasa
  

Unsure bahasa Inggris
  

Unsure bahasa Arab
  

Unsure bahasa Jawa
  

Unsure bahasa Gaul

Interferensi
  

24
  

1
  

56
  

10

Integrasi
  

71
  

25
  

-
  

-



            Berdasarkan data dari tabel tersebut diketahui bahwa yang mempengaruhi peristiwa interferensi adalah bahasa Jawa, sedangkan yang mempengaruhi integrasi adalah bahasa asing. Peristiwa interferensi terdapat 91 buah data. Data-data itu mengandung bahasa asing, bahasa daerah, dan bahasa gaul. Bahasa asing terdiri dari bahasa Inggris 24 buah dan bahasa Arab 1 buah. Sedangkan bahasa Jawa 56 buah dan bahasa Gaul 10 buah.

Peristiwa integrasi terdapat 96 data. Data-data itu mengandung bahasa asing, yang terdiri dari bahasa Inggris 71 buah dan bahasa Arab 25 buah, sedangkan bahasa Jawa dan bahasa Gaul tidak ada. Dari rincian bahasa-bahasa yang mempengaruhi peristiwa interferensi dan integrasi, maka dapat diketahui perbandingannya. Perbandingan ini dapat untuk mengukur perbandingan unsur bahasa asing, bahasa daerah, dan bahasa gaul yang berperan serta mengetahui bahasa mana yang paling dominan.

Keseluruhan bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa gaul dalam interferensi dan integrasi berjumlah 187 buah. Dengan melihat tabel tersebut, maka dapat diketahui perbandingan bahasa asing, bahasa daerah, dan bahasa gaul yang mempengaruhi interferensi dan integrasi, yang digunakan Prie dalam penulisan kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”. Untuk menghitung presentase rata-rata interferensi dan integrasi bahasa asing, bahasa daerah, dan bahasa gaul dalam kolom-kolom Prie digunakan rumus sebagai berikut.










Keterangan:

N : Jumlah satuan wujud interferensi dan integrasi pada satuan

       kebahasaan.

n : Jumlah semua wujud interferensi dan integrasi pada semua satuan

      kebahasaan.

P : Presentase.

(Sumarmi, 2003:54)

Dengan rumus tersebut maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut.

Interferensi :  = 49 %

Integrasi :  = 51 %











C. Kekhasan Pemakaian Bahasa yang Dimiliki Oleh Prie G S Dalam Kolom- Kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”.

“Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” sebagai suatu karya yang bermediakan bahasa dan mempunyai kekhasan dalam penggunaan bahasa.

Kekhasan bahasa dalam suatu karya tulis, bertujuan agar tulisan tersebut mempunyai ciri khas yang akan membedakan dengan karya orang lain. “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” merupakan kumpulan kolom Prie yang

dimuat di tabloid keluarga Cempaka, Suara Merdeka Cyber News, dan di

Website ‘Suheng’ .

Kolom Prie dapat digolongkan ke dalam jenis karya sastra sosiologis,

yaitu karya sastra yang menonjolkan aspek pengalaman sebagai acuannya. Kolom-kolom tersebut dibuat berdasarkan kejadian-kejadian dalam masyarakat modern yang tidak peka, tidak berperasaan, dan anti sosial. Kenyataan yang telah ditangkap ole h budayawan tersebut kemudian dibumbui dengan tanggapan, saran, pandangan, dan kritik. Menjadi suatu artikel yang mempunyai nilai subjektif yang besar sehingga menarik dan enak dibaca, memungkinkan pesan yang ingin disampaikan mudah mencapai sasaran.

Dari segi topik atau tema, Prie memiliki kebebasan untuk bergerak kesana-kemari dari pandangannya tentang Tuhan, agama, budaya, dan

masalah- masalah sosial serta keberpihakannya pada pihak yang terpinggirkan. Pada dasarnya pokok pembicaraan dalam kolom itu adalah seputar masalah yang kita hadapi. Tulisan yang singkat dan pendek dengan tema yang bebas itu dibuat sedemikian sehingga tidak terkesan monoton dan menjemukan.

“Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” ini tampaknya sangat mengena sebagian besar manusia modern yang terjebak dalam rutinitas kerja menjemukan dan aktivitas yang itu- itu saja. Secara tidak sadar, sedikit demi sedikit otak kita mulai mengerucut karena lama terjebak dengan pemikiranpemikiran yang sempit. Saat kita tidak lagi bisa memaknai hidup dengan hati dan logika maka selamanya kita akan terdampar dalam sebuah kehampaan.

Pembaca diajak untuk mengamati masalah dengan cara yang ringan,

penuh canda dan mereka seperti disadarkan dengan masalahnya dan

menyelami makna hidup dari hal-hal sederhana yang kadang tidak terpikirkan oleh kita. Apapun dalam hidup ini bisa memberi kita pelajaran. Anak-anak, keluarga, diri-sendiri, bahkan nyamuk dan ayam jago pun ternyata dapat membantu kita menemukan makna hidup yang lebih hakiki dan penuh warna.

Buku kumpulan kolom “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut’’ ini membuktikan watak hangat tanpa kehilangan sikap kritis itu. Kekuatan penalaran, ketulusan, kesalehan, dan kearifan yang dipetik dari berbagai variasi pengalaman yang berbeda. Selain itu juga bisa menunjukkan keintelektualan Prie yang sering kali menyisipkan istilah asing dalam tulisannya yang notabene merupakan ‘kiblat modernisasi’. Mengenai bahasa

yang digunakan, Prie memakai banyak kata-kata asing yaitu dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab, selain itu adanya penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Gaul.

































BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Penulis menarik kesimpulan sebagai berikut.

1.       Interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa. Interferensi dibedakan menjadi empat macam yaitu interferensi fonologis, interferensi morfologis, interferensi sintaksis, dan interferensi semantis; interferensi ekspansif dan interferensi aditif

2.       Interferensi fonologis adalah kesalahan yang terjadi pada pengucapan. Interferensi morfologis adalah kesalahan yang terjadi pada tata bahasa, yakni menyerap afiks-afiks bahasa lain. Interferensi sintaksis adalah kesalahan pada pemakaian kosakata bahasa lain (bahasa daerah, bahasa asing). Sedangkan interferensi semantis adalah kesalahan dalam tata makna.

3.       Integrasi adalah penyerapan unsur dari suatu bahasa yang satu ke bahasa yang lain yang sifatnya menguntungkan kedua bahasa. Integrasi dibedakan menjadi empat macam yaitu, integrasi audial, integrasi visual, integrasi penerjemahan langsung, dan integrasi penerjemahan konsep.

4.       Integrasi audial adalah integrasi dengan mendengar butir-butir leksikal yang dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Integrasi visual adalah integrasi yang penyerapannya dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa aslinya. Integrasi penerjemahan langsung adalah integrasi dengan cara mencarikan padanan kosa kata asing itu ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan Integrasi penerjemahan konsep adalah integrasi dengan cara meneliti konsep kosa kata asing itu, lalu dicarikan konsepnya ke dalam bahasa Indonesia.

5.       Ada dua faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa Prie GS dengan memperhatikan konteks sosial pemakainya, yaitu faktor sosial; dengan memperhatikan lingkungan sekitar, dan faktor situasional; dengan mempengaruhi pemakaian bahasa yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, dan mengenai masalah apa.

6.       Maksud dimunculkannya interferensi dan integrasi dalam pemakaian bahasa Indonesia pada kolom Prie antara lain sebagai berikut.

-          Untuk menimbulkan kesan kedaerahan.

-          Untuk menimbulkan kesan mengejek atau sindiran.

-          Untuk menimbulkan kesan kelucuan atau humor.

-          Untuk menunjukkan kesamaan arti dan kejelasan arti yang dimaksud .

-          Untuk sekedar gengsi.

7.       Interferensi yang sering muncul adalah pengaruh bahasa Jawa, karena bahasa Jawa adalah bahasa ibu penutur. Integrasi yang sering muncul adalah pengaruh bahasa Inggris, adanya unsur bahasa Inggris menunjukkan bahwa penutur adalah tokoh yang berpendidikan tinggi dan sudah terbiasa dengan pemakaian bahasa Inggris.

8.       Peristiwa interferensi yang muncul berjumlah 91 data. Data-data itu mengandung bahasa asing, terdiri dari bahasa Inggris 24 buah dan bahasa Arab 1 buah, sedangkan bahasa Jawa 56 buah dan bahasa Gaul 10 buah. Peristiwa integrasi yang muncul berjumlah 96 data. Data-data itu mengandung bahasa asing, terdiri dari bahasa Inggris 71 buah dan bahasa Arab 25 buah, sedangkan bahasa Jawa dan bahasa Gaul tidak ada.

9.       Keseluruhan bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa gaul dalam interferensi dan integrasi berjumlah 187 buah. Presentase interferensi sebesar 49% sedangkan integrasi sebesar 51%.

10.   Prie memiliki kekhasan karya sastra yang menonjolkan aspek pengalaman sebagai acuannya. Kolom tersebut dibuat berdasarkan kejadian-kejadian dalam masyarakat modern yang tidak peka, tidak berperasaan, dan anti sosial. Kenyataan tersebut dibumbui dengan tanggapan, saran, pandangan, dan kritik. Menjadi suatu artikel yang mempunyai nilai subjektif yang besar sehingga  menarik, enak dibaca, dan pesan yang ingin disampaikan mencapai sasaran.

11.   Kolom ini membuktikan watak hangat tanpa kehilangan sikap kritis itu. Kekuatan penalaran, ketulusan, kesalehan, dan kearifan yang dipetik dari berbagai variasi pengalaman yang berbeda. Selain itu juga bisa menunjukkan keintelektualan Prie yang sering kali menyisipkan istilah asing dalam tulisannya yang notabene merupakan ‘kiblat modernisasi’. Prie memakai banyak kata-kata asing yaitu dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab, selain itu adanya penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Gaul.

B. Saran

Saran yang dapat penulis kemukakan adalah.

1.       Penelitian dengan pendekatan sosiolinguistik setidaknya akan melibatkan aspek sosial dan aspek linguistik dalam pengkajiannya. Untuk itu seorang penulis tidak bisa melakukannya secara terpisah-pisah melainkan harus secara terpadu. Meskipun penelitian hanya menekankan pada aspek tertentu, misalnya interferensi dan integrasi seperti dalam penelitian ini, agar tidak kehilangan sifat keutuhannya.

2.       Walaupun penulis kolom dan majalah terbit di Jawa, diharapkan penggunaan bahasa daerah khususnya bahasa Jawa tidak terlalu banyak. Karena penikmat majalah bukan saja masyarakat Jawa tetapi seluruh kalangan masyarakat yang berasal dari beragam suku dan bahasa.

3.       Penelitian ini adalah penelitian yang berdasarkan data tertulis. Agar penelitian lebih akurat maka penulis sarankan supaya dalam penelitian sosiolinguistik menggunakan data yang benar-benar masih hidup dimasyarakat, karena data yang diambil tersebut lebih murni.

4.       Penelitian sosiolinguistik, khususnya pemakaian variasi bahasa ternyata cukup menantang karena kita harus jeli dan seksama memahami data. Penulis sarankan kepada peneliti yang lain agar menambah wawasan dengan cara memperbanyak membaca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar